Unsur Lokalitas dalam Cerita Fiksi
(Sebuah Komentar terhadap Parang Maya, Sebuah Cerpen Fuji Hidjriyati)
Mahmud Jauhari Ali
=====Saya masih teringat dengan seorang guru dialektologi saya—Prof. Dr. H. Mahsun, M.S.—pernah mengatakan bahwa sesuatu atau seseorang di dunia ini membutuhkan sesuatu atau seseorang yang lain. Sebagai contoh, jari tengah di tangan kita tidak akan disebut jari tengah jika tidak ada jari telunjuk dan jari manis. Ini membuktikan bahwa jari tengah membutuhkan kedua jari di kanan dan kirinya untuk mendapatkan nama jari tengah tersebut. Benar? Menurut saya benar. Begitu pula dengan manusia membutuhkan manusia lainnya atau sesuatu dalam hidupnya. Dalam hal ini, saya pun membutuhkan cerpen Fuji Hidjriyati berjudul Parang Maya untuk dapat menggunakan otak saya dalam menulis tulisan ini. Tulisan ini sekadar komentar sederhana yang sengaja saya buat untuk meramaikan dunia sastra di Kalimatan Selatan. Memang di dalamnya ada sedikit kritik, tapi sifatnya lunak.
=====Jika kita membaca cerpen ini, unsur lokalitas sangat terasa oleh kita. Keadaan warna lokal itu dapat kita temukan mulai dari pemakaian bahasa daerah sebagai semangat kebinekaan dalam bersastra, pemakaian nama-nama khas suku bangsa di pedalaman Kalimantan Tengah yang setiap katanya terdiri atas dua suku kata, budaya berupa adat yang ketat disertai kekukuhan sikap tradisional masyarakat setempat, dan juga pemakaian ilmu hitam yang dalam cerpen ini disebut parang maya, hingga perlakuan terhadap orang yang sudah wafat.
=====Lokalitas memang dapat menjadi bahan bagi sastrawan dalam melahirkan karya-karya sastra. Dengan itu pula kita akan melihat perbedaan nilai yang diangkat dan disampaikan sastrawan antarwilayah di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa dalam iklim pemerintahan yang disentralistik, budaya dan nilai-nilai lokal itu memiliki potensi daerah sebagai aset yang dapat dimanfaatkan dalam mendorong pengembangan dan pembangunan (Rosa, 2008: 1 dalam Pardi, 2008: 99).
Pemakaian Bahasa Daerah sebagai Semangat Kebinekaan dalam Bersastra
Pada beberapa cerpen yang dimuat dalam kolom Cakrawala Radar Banjarmasin, sering saya temui kata-kata bahasa Banjar yang dikutip penulisnya. misalnya ”Bunguuul...!” dalam cerpen Ahmad Sukarti AR berjudul Terompet yang terbit tanggal 20 januari 2008 . Dalam kalimat bahasa Banjar yang lengkap, misalnya ”Kena aja belajarnya, Dan. Sawat godoh lawan jalabianya dingin. Kada nyaman lagi” dalam cerpen Nailiya Nikmah JKF berjudul Dongeng dalam Becak yang terbit tanggal 8 Februari 2009. Dalam kaca mata saya, para penulis yang memakai sebagian bahasa Banjar ini berusaha melestarikan bahasa Banjar di tengah arus perkembangan zaman yang semakin mengglobal. Pelestarian ini meruakan bentuk semangat untuk menunjukkan adanya multibahasa di tanah air ini selain adanya keberagaman yang lainnya.
Bentuk semangat kebinekaan multibahasa dengan penggunaan bahasa selain bahasa Banjar saya temukan dalam cerpen berjudul Parang Maya yang diterbitkan pada hari Minggu 1 Maret 2009, di kolom dan surat kabar yang sama dengan di atas. Saya dan pembaca lainnya mendapatkan suguhan sebuah cerpen yang memakai sebagian bahasa daerah di luar Kalimantan Selatan. Berdasarkan penelitian dengan menggunakan metode dialektometri dan metode leksikostatistik, bahasa daerah dalam cerpen ini satu keluarga dengan bahasa Bakumpai di Kalimantan Selatan, yakni di Kabupaten Batola. Hal ini dapat kita maklumi karena penutur dari dua suku bangsa ini berasal dari satu nenek moyang yang sama. Bahasa daerah dalam cerpen Parang Maya sering disebut orang dengan bahasa Kapuas oleh sebagian orang. Karena, di Kapuas, Kalimantan Tengah, bahasa itulah yang dominan di pakai sejak dahulu. Walaupun sebenarnya bahasa daerah dalam cerpen Parang Maya itu adalah bahasa proto dari suku bangsa yang tersebar di Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, Kotamadya Palangka Raya, Kabupaten Kuala Kurun, Kabupaten Katingan, Kabupaten Gunung Mas dan lainnya.
”Ela ketun lalau bedungil!”, kalimat itu yang pertama mewarnai cerpen Fuji Hidjriyati berjudul Parang Maya. Penulisnya menamai bahasa itu dengan bahasa suku Dayak Ngaju. Dalam tulisan ini saya tidak memakai kata dayak dan ngaju karena kedua kata ini mengandung unsur merendahkan martabat orang-orang yang menyadangnya. Saya sebut merendahkan karena dua kata itu mula-mula dipakai oleh bangsa penjajah untuk menyudutkan suku bangsa di daerah pedalaman Kalimantan itu guna hegomoni mereka di tanah borneo ini. Sekadar menjelaskan sedikit, secara kasarnya (baca: tidak rinci) kata dayak bermakna ’terpencil’ atau ’kecil’ dan kata ngaju bermakna ’udik’. Saya lebih suka menyebut bahasa itu dengan bahasa uluh itah. Kata uluh bermakna ’orang’ dan itah bermakna ’kita’. Uluh itah sering dipakai untuk menyebut orang-orang dari suku bangsa yang mendiami daerah-daerah yang saya sebutkan di bagian akhir paragraf kedua di atas.
Menurut saya pemakaian bahasa daerah dalam cerpen ini dapat lebih menghidupkan jalan cerita yang melibatkan tokoh-tokoh dengan nama-nama khas dari daerah setempat. Dengan pemakaian bahasa itu, pembaca lebih mudah memasuki alam imajinasi penulisnya. Pembaca dibawa ke daerah kampung dalam cerpen ini dengan segala atribut budaya di dalamnya. Sadar atau tidak, dengan bahasa ini, penulisnya telah ikut melestarikan salah satu bahasa daerah yang dihormati dan dipelihara pula oleh negara. Sekaligus juga menjadi bentuk semangat kebinekaan bahasa dalam bersastra. Sekadar pemberitahuan, dewasa ini terdapat 746 bahasa daerah di Indonesia. Jujur, saya berikan apresiasi yang baik kepada penulisnya dalam upaya melestarikan keberagaman bahasa tersebut yang berarti juga menjaga kekayaan tanah air kita.
Kesesuaian Penamaan Tokoh dengan Latar Cerita
Hidjriyati dalam cerpennya sangat lihai memilih nama-nama tokoh cerita sesuai latar ceritanya. Semua kata dalam nama tokoh terdiri atas dua suku kata yang merupakan ciri khas nama orang dari suku bangsa dalam cerpen itu. Sebut saja nama tokoh-tokoh itu, Langkis (Lang dan Kis), Magat (Ma dan gat), Kiyik (Ki dan yik), Manji (Man dan ji), Singkang Akar (Sing dan kang, A dan kar), dan Udas (U dan das). Penggunaan nama-nama seperti di atas lebih menguatkan hubungan antara penokohan dan latar cerita. Latar tempat dalam cerpen ini memang tidak jelas, hanya di sebutkan sebuah kampung di Kalimantan Tengah. Akan tetapi, setelah saya perhatikan isinya, Hidjriyati menyebutkan bahwa ayah Manji adalah seorang juragan pendulang emas lokal. Nama daerah pendulangan emas lokal di Kalimantan Tengah adalah Kereng Pangi. Kereng Pangi merupakan sebuah daerah pendulangan emas lokal di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Dengan merunut hal di atas, latar tempat dalam cerpen ini adalah Kereng Pangi, Kabupaten Katingan.
Sepengetahuan saya, di daerah Kereng Pangi memang terdapat orang-orang dari suku bangsa yang dipilih Hidjriyati dalam cerpennya itu. Memang ada suku bangsa lain, seperti suku bangsa Banjar yang berdagang di sana dan suku bangsa Jawa yang giat menambang emas sebagai mata pencaharian mereka. Tidak menutup kemungkinan terjadi kawin silang di sana sehingga tidak menutup kemungkinan pula nama khas penduduk asli mengalami pergeseran. Akan tetapi, saya membenarkan bahwa di daerah yang, maaf, udik dan masih Kaharingan masih memakai nama-nama asli mereka seperti yang yang digambarkan dalam cerpen Parang Maya.
Pemberontakan terhadap Budaya yang Kurang Mendukung Kehidupan
Cerpen ini sebenarnya tidak jauh dengan cerpen kebanyakan, yakni mengusung masalah percintaan antarmanusia. Sebuah percintaan horizontal memang hal yang fitrah bagi manusia. Akan tetapi, yang sedikit lebih menarik adalah pengaitan masalah itu dengan budaya setampat, yakni adat suku bangsa di pedalaman Kalimantan Tengah. Selama ini, kebudayaan suku-suku bangsa di Kalimantan Tengah jarang diekspos di media-media massa Kalimantan Selatan. Dengan membaca tuntas cerpen ini, kita sedikit banyak dapat mengetahui kebudayaan salah satu suku bangsa di Kalimantan Tengah sehingga pengetahuan kita menjadi bertambah. Jujur, saya salut kepada penulisnya dan juga kepada Radar Banjarmasin yang memublikasikan pengetahuan itu kepada masyarakat pembaca di Kalimantan Selatan.
Di dalam cerpen ini, dikejawantahkan adanya percintaan dua orang dari lawan jenis yang kemudian terpisah oleh adat dan akhirnya salah seorang dari keduanya meninggal dunia dengan bantuan kekuatan iblis. Berdasarkan pengamatan saya, penulis cerpen ini berusaha mengadakan pemberontakan terhadap budaya lama dan ilmu hitam yang tidak sesuai dengan kehidupan manusia. Sebut saja budaya yang tidak sesuai dengan kehidupan manusia itu adalah seperti tergambar dalam kutipan, ”...aku tak dapat membantah keputusan orang tuaku.” Begitu pula dalam kutipan ini, ”Kau tahu bagaimana pandangan orang kita terhadap seorang gadis yang kalau sudah cukup umur belum kawin juga....”
=====Budaya yang kurang sesuai dalam kutipan di atas adalah masih adanya penjodohan orang tua terhadap anak mereka secara sepihak dan juga kebiasaan memandang gadis yang belum kawin dengan pandangan yang keliru. Tak seharusnya orang tua memutuskan jodoh anaknya, apalagi memaksakan keputusan itu kepada anak mereka sendiri. Kebiasaan memandang gadis yang sudah cukup umur tapi belum menikah dengan ejekan dan sebagainya merupakan sebuah budaya lama yang harus ditinggalkan. Bagaimanapun juga, jodoh adalah pemberian Tuhan kepada manusia. Jika Tuhan belum memberikannya, walaupun sudah cukup umur tentunya yang bersangkuan belum dapat menikah juga. Ketidaksetujuan Hidjriyati dengan budaya lama yang tidak seseuai itu adalah dijadikannya akhir cerita yang menyedihkan. Dalam cerpen ini, Hijriyati menjadikan balian atau dukun tidak dapat menyembuhkan Langkis dari parang maya.
=====Sebenarnya korban dari parang maya dapat saja disembuhkan oleh para balian atau dukun. Dengan mantra-mantra berbahasa sangiang—bahasa yang digunakan untuk komunikasi antara balian dengan para penghuni alam atas—korban dari parang maya dapat disembuhkan. Dengan dimatikannya Langkis, penulis cerpen ini bermaksud menyampaikan bahwa ilmu hitam seperti parang maya hanya akan membuat orang-orang lain menderita. Karenanya parang maya jangan dipelajari dan digunakan. Hal ini masuk akal karena di masa sekarang menuntut ilmu yang rasional tentulah jauh lebih baik daripada mempelajari dan mengunakan ilmu-ilmu mistik hitam.
=====Namun demikian, ceritanya akan lebih seru jika ada perlawanan yang sengit dari balian untuk menunjukkan bahwa kekuatan jahat dapat dikalahkan dengan kekuatan baik. Dengan demikian, menimbulkan rasa semangat yang kuat untuk melawan segala kejahatan di muka bumi ini dari para pembacanya.
Perlakuan terhadap Orang yang Sudah Wafat.
=====Dalam cerpen Parang Maya, Langkis diceritakan wafat terkena parang maya. Saya menangkap sebuah ketidaksesuaian perlakuan terhadap orang yang wafat dalam cerpen ini dengan kepercayaan Kaharingan. Hidjriyati pada bagian sebelumnya menyatakan bahwa kepercayaan para tokoh adalah Kaharingan. Sekarang lebih dikenal dengan agama Hindu Kaharingan. Kepercayaan Kaharingan menjadi agama Hindu Kaharingan dimulai sejak tahun 1974 silam. Dalam cerpen ini, jenazah Langkis dikuburkan seperti dapat kita lihat dalam kalimat, ”Mataku masih sembab di pekuburan ini.” dan juga dalam kalimat ”Terbayang cincin berlian di jari manis Langkis saat dia dikuburkan.”
=====Menurut saya dengan dikuburkannya jenazah Langkis, sangat mengurangi nilai cerpen ini. Mengapa saya katakan demikian? Karena, penguburan jenazah Langkis sangat tidak sesuai dengan bagian sebelumnya dari cerpen ini yang berisi bahwa para tokoh dalam cerpen ini berkepercayaan Kaharingan. Pernyataan ini dapat kita lihat dalam kalimat, ”...meskipun telah begadang semalam untuk melaksanakan ritual adat dan kepercayaan kami, Kaharingan.” Dalam kaharingan, jenazah tidak dikuburkan, malainkan disimpan untuk sementara waktu di tempat yang dinamakan sandong. Kemudian barulah roh orang yang sudah mati itu diantar ke alam atas dalam acara tiwah.
Simpulan
Penggunaan unsur lokalitas dalam cerita fiksi menjadi salah satu bentuk pelestarian warna lokal di negara ini. Sekaligus juga menjadi semangat kebinekaan dalam berkarya sastra. Warna lokal akan memberikan perbedaan nilai yang diangkat dan disampaikan sastrawan antarwilayah di Indonesia. Dalam cerpen Parang Maya, Hidjriyati berusaha untuk menunjukkan bahwa budaya yang kurang seseuai dengan kehidupan manusia hanya akan menyebabkan penderitaan. Cerpen ini walaupun memiliki kelemahan dalam isiya, menurut saya merupakan cerpen yang bagus untuk memperkenalkan unsur-unsur lokal kepada masyarakat pembaca. Kita memberikan apresiasi yang baik kepada penulisnya. Akhirnya, saya tutup tulisan ini dengan sebuah ajakan, marilah kita tuliskan kata-kata yang bermanfaat untuk dapat dipetik oleh masyarakat pembaca. Bagaimana menurut Anda?
Salam dari saya sebagai penulis!
BalasHapusWah! Tulisannya bagus.
BalasHapusAss.
BalasHapusMenarik ulasannya. Tentang kritik lunak atau keras, sebenarnya tidak perlu disebutkan, karena kritik itu tergantung yang menerimanya. Biarlah yang dikritik memaknai kritik tersebut sesuai dengan pemahamannya. Kita memang harus belajar terhadap kritik, dan berusaha mengambil yang positif.
Mungkin, perlakuan terhadap orang yang wafat sudah mengalami pergeseran dalam budaya keharingan itu sendiri, sehingga meskipun masih taat terhadap keharingan, mereka juga sudah menguburkan mayat. Apalagi, saat ini untuk menyelenggarakan tiwah memerlukan biaya yang sangat besar. Di sini dapat dilihat adanya kehilangan bagian dari budaya itu sendiri, dan sebagian masih begitu hidup dalam kehidupan mereka.
salam hangat
Untuk H.E. Benyamine
BalasHapusWa'alaikumussalam w.w.
Sebuah tanda yang bagus untuk kemajuan umat di Indonesia, menerima kritik yang positif.
Memang sejak tahun 1974 Kaharingan sudah beralih nama menjadi agama Hindu Kaharingan. Akan tetapi, kepercayaan kaharingan tetaplah harus asli bagi penganutnya, baik dia Dayak Ngaju, Iban, Ma'nyan, Kenyah, Benuak, Bakumpai, dan dayak-dayak lainnya di seluruh penjuru pulau Kalimantan.
Sebagai seorang penduduk di Kalimantan, saya tak mau menyentuh kaharingan dengan kata "mungkin" atau "tidak mungkin". Saya hanya akan mengatakan apa yang saya tahu dari kepercayaan itu.
Salam kreatif.