Malam Lebaran di Penghujung Waktu
Cerpen Mahmud Jauhari Ali
Dua tahun lalu ada yang datang di tempat ini dan kemudian pergi ke tempat yang tak pernah kusinggahi. Langit kala itu mendung. Terlihat kelelawar bermain-main di antara pepohanan rimbun lagi angker. Di luar sana seorang lelaki kurus hitam berjalan tergopoh-gopoh. Sesaat langkahnya terhenti dan kembali terhenti agak lama sekadar melemaskan otot-otot tubuhnya. Lelaki yang satu ini tetap saja berjalan dengan berani menerobos dinginnya malam. Di tangannya ada segores luka cukup parah hingga sebagian kemejanya ternoda oleh darahnya. Lelaki itu terus melangkah. Dan, ia akhirnya berhenti di sebuah kuburan yang sunyi senyap.
“Mau ke mana Nak?” tanya seorang tua berjanggut putih dan berpeci hitam gelap yang telah berdiri tepat di depannya.
Lelaki itu tersentak dan tubuhnya sedikit gematar. Rupanya kelaki-lakiannya ditelanjangi oleh seorang pak tua di kuburan itu.
“Aku hendak pulang, Pak” suaranya terdengar gugup, “Bapak siapa?” lanjutnya.
“Mengapa kau mau ditingkahi ketakutan dan keterasingan, anak muda? Aku hanyalah penjaga sekaligus penggali kuburan di sini. Tenanglah, di sini tidak ada hantu atau sebangsanya. Di sini aman, aku bukan hantu.”, katanya dengan suara agak serak-serak basah.
“Ini jalan apa namanya?” lelaki itu kembali bertanya dengan rasa keterasingan dalam dirinya.
“Ha ha ha ha ha, rupanya kau benar-benar tersesat di sini. Ini jalan Beringin namanya. Mampirlah dulu di rumahku sambil minum kopi di sana.”
Lelaki itu dengan mudahnya mau diajak mampir di sebuah gubuk reot milik pak tua itu. Entahlah mungkin ia telah kena hipnotis si pak tua. Direguknya secangkir kopi hangat di tangannya. Bukan hanya kopi yang diseduhkan pak tua kepadanya, nasi dan ayam panggang lezat juga akhirnya habis disantap lelaki itu.
“Apa dahagamu telah hilang dan perutmu sudah kenyang ?” tanya lalaki tua itu
“Ya, alhamdulillah.”, ucapnya singkat.
“Kelaki-lakianmu juga telah kembali?”
“Ah Bapak bisa saja menanyakan hal itu kepadaku. Ya Pak, aku sekarang telah kembali prima.”
Di dalam gubuk reot itu mereka pun salat berjamaah. Pak tua sangat mahir membaca surah Alfatihah dan dua surah lainnya dengan tartil. Mereka barpisah tatkala embun pagi masih membasahi batu-batu kerikil kuburan. Lelaki itu terus memacu langkahnya meninggalkan tubuh tua yang masih berdiri tegap itu.
***
Luka di tangannya perlahan mengering. Sesekali ia meringis menahan rasa sakit akibat lukanya. Kini ia merasa sangat haus dan lapar. Ya, ia sedang berpuasa saat itu. Akibat kelelahan, ia pun tertidur pulas di tumpukan kardus dan surat kabar bekas di samping sebuah toko. Kelopak matanya kembali terbuka tatkala seseorang memangil-manggilnya. Bergegaslah ia bangun dan didapatinya seorang anak berusia sekitar dua belas tahun di hadapannya.
“Apa yang Abang bawa itu?” tanya anak tersebut sambil menembakkan jari telunjuknya ke arah plastik kresek hitam di samping si lelaki.
“Ini bukan makanan. Tidak ada makanan di sini.”, jawab lelaki itu sedikit marah. Seakan lelaki itu tahu apa yang diingini anak yang berdiri di hadapannya, yakni makan gratis.
Jelas saja, si anak kecewa dan segera meninggalkannya.
“Hei! Aku belum selesai bicara denganmu. Dasar anak sekarang tak tahu sopan santun kepada orang dewasa.”, lelaki itu bersuara nyaring.
“Saya mau mengamen dulu Bang untuk dapat berbuka puasa hari ini”
“Puasa? Anak itu puasa?” tanyanya dalam hati.
Ia ikuti anak kecil itu. Beberapa jam kemudian terlihat mereka duduk berdua di bawah pohon tua. Mereka asyik berbincang di sana.
“Di mana orang tuamu?” tanya lelaki itu dengan suara bernada lebih rendah daripada sebelumnya.
“Aku tak punya orang tua, Bang. Sejak kecil aku tinggal di panti asuhan. Karena aku melakukan kesalahan besar, mereka mengeluarkanku dari sana. Dan, sejak itulah aku harus rela tinggal di kolong jembatan dan trotoar.”
Lelaki itu terdiam sejenak. Ia teringat dengan bayi yang ia titipkan di sebuah panti asuhan dua belas tahun silam di kota asalnya. Saat itu lelaki itu betul-betul bingung dengan bayi laki-laki yang ia temukan di rerumputan liar. Entah mungkin bayi itu sepertinya anak dari hubungan terlarang kedua orang tuanya.
“Siang bolong begini jangan melamun, Bang!” ucap si bocah itu.
Si lelaki itu tergeregap, “Ah! Aku tidak malamun, Boy. Aku kasihan dan ikut prihatin padamu, masih kecil sudah mengalami keadaan seperti ini.”
“Abang tidak usah mengasihaniku. Pikirkan saja diri Abang sendiri yang ke sana ke mari tanpa tujuan jelas.”
“Sebenarnya saat ini aku sedang kebingungan harus berbuat apa.”
“Mengapa?”
“Aku habis dirampok di hutan sana. Uang dan sepeda motor bututku mereka rampas. Lalu mereka membuangku di pinggir jalan yang tak kukenal. Syukurlah aku masih hidup.”
Bocah dua belas tahun itu hanya diam menghayati kata-kata si lelaki tersebut, walaupun sebenarnya hatinya ingin melanjutkan pembicaraan.
“Aku tak kenal kota kecil ini. Baru kali ini aku berada di sini.” Lelaki itu melanjutkan kata-katanya.
“Apa yang Abang cari?”
“Adik perempuanku. Dia telah lama pergi meninggalkan rumah kami. Dulu dia pamitan ingin menjadi TKW, tapi kudengar kabar lain tentangnya. Kabarnya dia sekarang berada di salah satu kota kecil di bagian timur pulau ini.”
“Bisa jadi adik Abang berada di kota ini. Tidak salahnya Abang mencarinya di sini.”
Pembicaraan mereka terhenti. Lelaki itu merenungkan kata-kata terakhir teman kecilnya itu.
***
Mereka berjalan beriringan. Sesekali keduanya terlihat bercanda. Entahlah apa yang mereka bicarakan sehingga tawa mereka ikut meramaikan kota yang agak padat kala itu. Suara bising knalpot tidak mereka hiraukan. Kadang-kadang mereka mengamen berdua. Kali ini si lelaki mengajak bocah itu ke suatu tempat.
“Kita mencarinya di sini, Bang?”
“Siapa tahu orang di sini tahu keberadaannya.”
Si lelaki itu mulai memasuki sebuah bangunan. Didapatinya seorang perempuan sangat tegap di sana. Cukup lama si lelaki itu berbincang dengan perempuan yang dihampirinya tadi. Ia ajak lagi teman kecilnya ke sebuah rumah dan ke rumah lainnya. Terus seperti itu. Sedangkan si bocah hanya mengiyakan kata-katanya. Dan, dari sebuah rumah berkamar cukup banyak, lelaki itu bergegas menarik tangan teman kecilnya berjalan menyusuri jalanan di sana.
Sontak anak kecil yang saat itu sedang berada di luar rumah berkamar banyak tersebut terkaget-kaget.
“Mau ke mana kita, Bang?”
“Kau tidak perlu bertanya, ikuti saja aku.”
Sampailah mereka di ujung sebuah jalan sempit. Di depan mereka terlihat pagar kayu lapuk. Di baliknya terlihat sebuah rumah sederhana dan bahkan teramat sederhana. Ya, adalah gubuk reot milik pak tua yang bertemu dengan lelaki itu satu minggu lalu. Si lelaki itu mulai mengetuk pintu depan rumah yang teramat sederhana tersebut. Mereka saling menatap. Bukan antara si lelaki dan si bocah itu, melainkan si lelaki dengan seorang kakek.
“Hei kau lagi, ayo masuk, Nak! Oh manis sekali bocah ini. Dia anakmu?”
“Pak, apa ada seorang perempuan bernama Annia Temala dikuburkan di sini?”
“Kau aturlah dulu napasmu itu. Jika sudah teratur, akan aku bicarakan perempuan itu kepadamu.”
Beberapa saat kemudian mereka duduk di dalam rumah sambil berbuka puasa terakhir bersama tahun itu.
“Dua bulan lalu, ada seorang wanita setengah baya mendatangiku. Ia minta dibuatkan liang untuk makam seorang wanita muda. Kelihatannya ia semasa hidup adalah seorang kupu-kupu malam karena wanita setengah baya itu adalah mami di sebuah kompleks remang-remang di ujung kota kecil ini. Ya, aku ingat nama wanita muda yang meninggal dunia itu, Temala namanya. Tapi, tidak ada kata Annia di depan namanya.”
“Itu pasti dia. Tunjukkan makamnya kepadaku, Pak?”
“Ya baiklah, mari kita ke sana.”
Terpampang jelas nama Temala di batu nisan tepat di hadapannya. Tatapannya sayu, Lidahnya ikut kelu untuk berkata apa pun juga. Hanya suara tangis yang keluar dari dalam tubuhnya di antara suara takbir malam itu.
“Kau sudah puas anak muda?” tanya pak tua itu, tapi tidak ada jawaban dari si lelaki.
“Kau sudah puas anak muda?” pak tua itu mengulangi kembali pertanyaannya setelah cukup lama si lelaki itu diam..
“Aku masih ingin di sini. Boleh aku menginap di sini, Pak?”
“Kalau itu membuat jiwamu puas , silakan saja.”
Pak tua dan anak kecil itu meninggalkannya sendiri. Malam sudah semakin larut. Ia masih saja duduk di hadapan makam itu. Entah apa yang dipikirkannya. Terkadang mulutnya berkomat-komit.
Ada sesuatu rupanya di sana. Tangannya merogoh saku celananya. Ya, telepon selularnya berderak. Ia bicara. Ya, ia kini bicara dengan seseorang di telepon selulernya.
“Aku di makam.” katanya.
“Mama harus tabah menerima kenyataan ini.” katanya lagi.
“Aku sedang serius Ma.” kali ni ia berkata sedikit berteriak.
“Apa?” serunya.
“Aku ingin bicara langsung dengannya, Ma. ” ia terlihat sangat penasaran.
“Kau! Lalu makam siapa yang ada di hadapanku ini?”
“Ya, aku akan segera pulang malam ini juga.”
Kakinya langsung menuju gubuk reot milik pak tua. Wajahnya kali ini terlihat bersemangat.
“Ada apa lagi anak muda?”
“Pak, boleh aku meminjam sepeda motor Bapak malam ini juga? Aku hendak pulang”
“Tak bisakah Abang tunda besok pulangnya?”, anak kecil itu ikut menyela
“Ini sangat penting, tak bisa kutunda sampai besok. Kau pasti tahu jalan keluar dari kota ini. Antarkan aku sampai pintu gerbangnya saja. Kau boleh turun di sana nanti. Setelahnya aku akan cari tahu sendiri jalan menuju kotaku.”
Malam itu juga lelaki itu berangkat bersama anak dua belas tahu itu dengan sepeda motor milikpak tua dengan kecepatan tinggi. Ia tidak peduli lagi dengan malam yang gelap. Si anak diturunkannya di pintu gerbang kota kecil ini. Sudah tujuh jam ia meninggalkan rumah pak tua. Keesokan harinya di dekat masjid, orang-orang yang hendak melaksanakan salat ied menemukan sesosok mayat lelaki muda tertindih sepeda motor. Wajah mayat lelaki itu terlihat bahagia. Bibirnya tersenyum beku. Orang-orang segera mengangkatnya dan mobil ambulan masjid pun melesat ke rumah sakit terdekat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!