Kearifan Lokal dalam Bahasa Banjar
Mahmud Jauhari Ali
Pencinta Bahasa dan Sastra
Mahmud Jauhari Ali
Pencinta Bahasa dan Sastra
Masyarakat Banjar merupakan komunitas etnik asli Kalimantan Selatan yang termasuk dalam kelompok melayu muda. Budaya Banjar sebenarnya adalah perpaduan dari budaya Dayak, Jawa, dan budaya Melayu. Budaya Dayak yang dimaksud dalam hal ini juga merupakan budaya hasil perpaduan dari budaya Dayak Ngaju, Ma’anyan, dan budaya Dayak Bukit. Hal ini membuktikan bahwa orang Banjar bersikap terbuka terhadap dunia luar. Sikap terbuka inilah yang menjadi bukti bahwa sebenarnya orang Banjar berwatak demokratis. Tradisi berdemokrasi orang Banjar sudah terjadi ratusan tahun yang lalu sebagai salah satu kearifan lokal etnis Banjar. Contoh nyata tradisi berdemokrasi orang Banjar adalah ketika Pangeran Suriansyah (raja pertama kerajaan Banjar) memerintah kerajaan Banjar (1526—1545 M). Dalam pemerintahannya langkah pertama yang beliau lakukan adalah tidak mengangkat mangkubumi dari golongan bangsawan, atau keluarga kerajaan. Akan tetapi, Pangeran Suriansyah mengangkat mangkubumi dari rakyat biasa yang cakap dan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap negara, yakni Patih Masih sebagai pilihan rakyat umum.
Tradisi kritik sebagai salah satu bentuk nilai-nilai demokratis terlihat pula dalam penggunaan bahasa Banjar di masyarakat Banjar sekarang. Hal ini tampak jelas pada cerita Si Palui yang hadir di masyarakat dalam bentuk tulisan di surat kabar harian Banjarmasin Post setiap hari. Dalam bahasa Banjar yang dikemas dalam cerita humor, Si Palui tampil sebagai tokoh pengeritik bagi yang sok pintar, sok kuasa, sok kaya, sok hebat, dan sebagainya. Kritikannya mengena kepada siapa saja yang perlu dikritik, mulai diri sendiri, rakyat pada umumnya, sampai pemerintah.
Bahasa Banjar sebenarnya juga merupakan perpaduan dari berbagai unsur dari beberapa bahasa. Dalam bahasa Banjar terdapat unsur bahasa Melayu, unsur bahasa Dayak, dan unsur bahasa Jawa. Kata banjar itu sendiri berasal dari bahasa Melayu yang artinya adalah ‘kampung’. Kata masih yang sekarang menjadi kata masin dalam gabungan kata Banjarmasin, sebenarnya adalah sebutan perkampungan orang melayu dalam ucapan bahasa Ngaju (Dayak Ngaju). Jadi, kata Banjarmasin sebagai nama Ibukota Kalimantan Selatan sekarang merupakan perpaduan dari unsur bahasa Melayu dan unsur bahasa Ngaju. Apa yang dapat kita tangkap dari hal ini? Hal ini adalah satu lagi bukti bahwa dalam bahasa Banjar, terdapat kearifan lokal orang Banjar, yakni terbuka atau berwatak demokratis.
Dalam bahasa Banjar juga terdapat kearifan lokal lainnya dari etnik Banjar, yakni penghormatan kepada orang tua atau orang-orang yang lebih tua. Kearifan lokal yang terakhir ini dapat kita temukan pada kata-kata dalam bahasa Banjar, seperti kata ulun, pian, sidin, inggih, dan kata pun. Kata ulun dipakai oleh orang Banjar yang lebih muda kepada orang Banjar yang lebih tua. Kata ulun berpadanan dengan kata saya dalam bahasa Indonesia. Begitu pula halnya dengan kata pian yang berpadanan dengan kata Anda dalam bahasa Indonesia, kata sidin yang berpadanan dengan kata beliau dalam bahasa Indonesia, kata inggih yang berpadanan dengan kata ya dalam bahasa Indonesia, dan kata pun yang berpadanan dengan kata apa dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Banjar juga mengandung fungsi sebagai untuk melakukan tradisi musyawarah sebagai salah satu bentuk kearifan lokal orang Banjar (fungsi musyawarah). Tradisi musyawarah ini telah dilaksanakan sejak dulu. Bahkan tradisi tersebut telah diyurisprudensikan dalam Undang-Undang Sultan Adam (1825—1857). Dalam perkara 3 Undang-Undang Sultan Adam berbunyi, “Tiap-tiap tatuha kampung kusuruhakan memadai anak buahnya dengan bamufakat, astamiyah lagi antara bakarabat supaya jangan jadi banyak bicara dan pambantahan” (Usman, 1994:178 dalam Abdussami’, 1996:116). Maksud dari isi perkara 3 tersebut adalah tokoh-tokoh kampung agar mengutamakan musyawarah untuk menghindari perselisihan antarwarga mereka.
Pada saat ini pun bahasa Banjar masih digunakan oleh orang Banjar dalam bermusyawarah seperti di dalam rumah tangga dan di masyarakat. Jika ada permasalahan dalam rumah tangga, suami istri sering menggunakan bahasa Banjar untuk bermusyawarah untuk mencapai kata mufakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!