Senin, 28 Juli 2008

TULISAN TERBARU MAHMUD JAUHARI ALI

Buku Elektronik,
Sebuah Kebijakan yang Kurang Pertimbangan

Mahmud Jauhari Ali
Pencinta Bahasa dan Sastra

“Pemerintah pusat dan daerah dapat membeli hak cipta buku dari pemiliknya. Semua orang berhak menggandakan, mencetak, memfotokopi, mengalihmediakan, dan atau memperdagangkan buku yang hak ciptanya telah dibeli pemerintah.”, demikianlah antara lain isi dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya peraturan tersebut, berbagai pihak di luar para pembuat peraturan Departemen Pendidikan Nasional itu menjadi bingung termasuk para guru, orang tua, dan tentunya para siswa. Peraturan itu berkaitan dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional dalam meluncurkan buku elektronik atau yang dikenal dengan electronic book (e-book). Peluncurannya direncanakan pada tanggal 2 Agustus 2008 dan sekaligus diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan adanya buku elektronik (e-book) ini, para siswa dan guru dapat langsung mengunduh (men-download) buku-buku yang diinginkan melalui fasilitas internet secara gratis. Dengan kebijakan ini juga, pihak sekolah pun dapat meminta Kepala Dinas Pendidikan atau percetakan setempat untuk menggandakan dan menjual kepada siswa dengan harga kisaran antara Rp 4.452—Rp 19.379.
Hal ini sungguh merupakan terobosan yang sangat bagus untuk mencerdaskan bangsa Indonesia. Para guru dan siswa tidak perlu lagi membeli buku pelajaran dengan harga mahal. Dewasa ini memang buku-buku pelajaran harganya mahal. Padahal para guru dan siswa sangat membutuhkan buku-buku teks pelajaran berbahasa pengantar bahasa Indonesia itu untuk menunjang keberhasilan proses belajar-mengajar. Di sinilah sangat terasa betapa pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan dalam buku-buku teks pelajaran guna proses pencerdasan bangsa Indonesia. Dengan adanya kebijakan buku elektronik ini, pihak sekolah pun mendapatkan angin segar dalam dunia pendidikan di tanah air.
Akan tetapi, sudahkah Departemen Pendidikan Nasional mempertimbangkan kenyataan di lapangan yang memprihatinkan berkenaan dengan kebijakan ini? Kebijakan ini sangat terkesan tergesa-gesa. Bahkan, seakan mengejar proyek semata. Seharusnya sebelum kebijakan ini dibuat dan dilaksanakan, Departemen Pendidikan Nasional terlebih dahulu mempertimbangkan ketersediaan listrik di daerah-daerah terpencil, kemampuan para guru dan siswa mengakses internet termasuk cara mengunduh buku elektronik, dan juga fasilitas komputer dan mesin cetak (printer). Departemen Pendidikan Nasional seharusnya tidak menyamakan antara sekolah-sekolah di perkotaan yang fasilitasnya lengkap dengan sekolah-sekolah di daerah terpencil dengan segala keterbatasan fasilitas. Kebijakan ini kurang mempertimbangkan wilayah-wilayah di Indonesia yang pada kenyataannya masih terjadi ketimpangan dalam hal teknologi, ketersediaan listrik, dan sumber daya manusianya. Profesor H.A.R. Tilaar—pakar pendidikan—menyatakan bahwa ide program buku elektronik ini sebenarnya bagus karena sesuai dengan kemajuan teknologi. Namun, menurut beliau persiapannya sangat buruk.
Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa program buku elektronik ini kurang menggembirakan bagi semua pihak saat ini. Terlepas dari faktor-faktor di atas, buku elektronik ini juga belum siap digunakan oleh siapa pun. Perhatikan saja, setelah memasuki tahun ajaran baru, para guru dan siswa belum mendapat buku murah tersebut, sekalipun di perkotaan. Hasilnya, mereka membeli buku teks pelajaran di toko buku. Entahlah setelah peluncurannya nanti pada tanggal 2 Agustus mendatang. Kita lihat saja nanti.
Hal yang seharusnya dilakukan Departemen Pendidikan Nasional sebelum menetapkan kebijakan buku elektronik adalah menyediakan fasilitas listrik dan komputer beserta mesin cetaknya di daerah-daerah terpencil dan juga meningkatkan kompetensi para guru dan siswa dalam hal penerapan teknologi internet. Sebagaimana kita ketahui tidak semua wilayah di Indonesia memiliki katersediaan listrik. Ketersediaan komputer juga tidak merata di seluruh Indonesia. Para guru dan siswa juga tidak semuanya dapat mengoperasikan teknologi internet. Padahal sejatinya kebijakan ini sangat ditunjang oleh ketersediaan listrik, adanya komputer beserta mesin cetaknya, dan sumber daya manusia yang dapat menjalankan teknolog internet. Agar kebijakan ini dapat berjalan secara maksimal, Departemen Pendidikan Nasional seharusnya kembali memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, yakni, listrik, komputer beserta mesin cetaknya, dan sumber daya manusia yang dapat mengopersikan teknologi internet. Dengan demikian, kebijakan buku elektronik ini dapat dirasakan oleh para guru dan siswa di seluruh Indonesia. Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!